fatamorgana
by Coolisnoer WillbeConsisted on Friday, June 22, 2012 at 9:56am ·
Gadis itu beranjak maju beberapa langkah ke depan kursinya. Pelepah kering daun pisang itu masih mengajaknya untuk ikut menari. Tiba-tiba dari tiang kayu bercat putih ia bersandar, gadis itu berteriak “jangan!“ dengan suara keras hingga ayam jantan tak jauh di samping rumahnya terbirit. Gadis itu termangu. Ia lalu tersadar bahwa tidak terjadi apa-apa. Pelepah kering daun pisang yang masih melambai-lambai itu ternyata telah membuat mata gadis itu melihat yang tak sebenarnya. Ia melihat seorang penyamun yang berusaha melukai seorang gadis penari berselendang merah yang elok di tempat pelepah daun pisang itu melambai-lambai.
Gadis itu lalu masuk ke dalam rumahnya dan mengambil air di belakang untuk mencuci mukanya, berharap cepat tersadar dari lamunan yang mengajaknya pergi berkelana ke suatu tempat yang tiada ia tahu dimana. Ia lalu memandangi dirinya sendiri di depan cermin besar yang terpampang rapi memajang wajahnya sendiri di dinding dalam kamar mandi itu. Sekilas ia teringat pelepah kering daun pisang yang melambai-lambai terterpa angin sepoi-sepoi yang ia lihatnya di kebun tetangga depan rumahnya itu. Lalu ia kembali teringat tragedy penyamun yang ingin melukai penari gemulai itu. Lalu sekilas ia melihat bayangannya sendiri di depan cermin itu memakai pakaian penari yang ia lihat dalam lamunannya itu. Lengkap dengan selendang merahnya, lalu tiba-tiba datang penyamunnya. Lalu dengan sekejap ia berpaling melihat ke belakang dengan cepat, membalikkan badan dengan sekejap seperti mendengar aba-aba balik kanan dari sang pemimpin barisan dalam pasukan baris berbaris. Ia tak melihat apa-apa. Lalu ia kembali mengahadap melihat ke cermin di belakangnya dari posisinya setelah ia berbalik badan. Gadis itu merasa seperti dalam angan imajinasi sesseorang yang tak ia tahu siapa, dan tak dapat ia mengakhirinya sendiri.
Gadis itu memainkan jemari dan telapak tangannya mengepal dan membuka sekadar meyakinkan dirinya bahwa ia benar-benar di sana, sekarang, dalam langkah menuju kerumunan orang-orang tetangganya. Lalu berdehem untuk mendengarkan suaranya sendiri, lalu memutar-mutar mata dan kepalanya melihat tetangga-tetangganya yang tinggal beberapa langkah darinya. Ia masih merasa dalam imajinasi orang lain. Tampak kosong bagaikan orang tidur yang terganggu tidurnya. Pucat pasi dan hanya diam. Termenung dalam kediaman yang dibuatnya sendiri di tengah kebisingan yang dibuat tetangga-tetangganya. Ia sendiri semakin merasa payah. Semakin berat untuk keluar dari angan imajinasi orang lain. Seperti dalam pengaruh kekuatan supranatural para magician yang mencoba memperdayanya untuk diapakan sesuka hati mereka. Tak berapa lama merasa payah gadis itu di situ, ia lalu melangkahkan kakinya hendak menuju pohon pisang yang pelepah keringnya melambi-lambai itu. Masih seperti orang yang dalam pengaruh kekuatan supranatural. Sepertinya lambaian pelepah kering daun pisang itu benar-benar dihiraukan gadis itu. Ia berjalan seperti orang tidur. Pasi dan kosong. Lalu salah seorang tetangganya memanggilnya keras “mau ke mana nduk?!” Gadis itu masih dalam lamunannya melangkah menuju pohon pisang itu. Lalu perlahan ia mendengar suara seperti di tengah-tengah hamparan sabana yang sangat luas. Ia mendengar suara itu perlahan-lahan, semakin mendekat, dan semakin keras menuju dirinya. “mau ke mana nduk?!” akhirnya suara tetangganya itu baru terdengar jelas setelah beberapa detik tetangganya itu selesai mengucapkannya. Gadis itu lalu berhenti. Sejenak terpaku seperti orang asing yang baru saja turun dari langit. Merasa tidak sadar di mana dan sedang mau apa ia di kebun orang. Lalu ia teringat sesuatu. Ia, kata itu, kata tetangganya itu. Lalu kembali ia seperti orang bingung. Merasa seperti orang yang harus bertanggung jawab besar atas apa yang telah dilakukan orang lain, dengan pertanyaan salah seorang tetangganya itu. Gadis itu lalu membalikkan tubuhnya. Memandang tetangga-tetangganya yang sudah memandanginya terlebih dahulu. Terdiam sejenak, gadis itu lalu berlari menuju rumahnya. Ia berharap ada ibunya, ayahnya, atau siapa saja yang bisa ia tanyai apa yang sedang terjadi. Nihil. Ia menemukan rumahnya dalam keadaan kosong. Ia teringat bahwa ia hanya sendirian sejak subuh tadi.
Ia lalu mengingat-ingat sendiri apa yang terjadi dengan dirinya. Ia lalu duduk kembali dalam kursi kayu bermotif bunga khas jepara di depan rumahnya itu sambil kembali memandangi pelepah kering daun pisang milik tetangganya yang menari-nari terpukul sepoi angin sore itu. Ia lalu teringat ia sudah melihatnya beberapa saat tadi. Namun ia tetap tenang duduk di atas kursinya itu sambil meratapi kesendiriannya itu. Kesendirian yang membuat hati semua mahluk merasa sepi. Dan bila dibiarkan hingga berlarut-larut, apa pun yang bergerak disekitarnya akan menjadi hal yang bisa membuat mata sibuk untuk memperhatikan. Diperhatikan terus-menerus, hingga mata tak memperhatikan dengan sejatinya, dan pikiran pun akhirnya melayang sendiri dalam alam fatamorgana, hingga sampai alam tak tahu lagi.
NUR KHOLIS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar