by Saat Fajar Bersamanya on Tuesday, December 6, 2011 at 11:06am
“Cukup, Mas . Cukup! Sekali aku bilang nggak ya nggak. Kenapa Mas masih memaksa !” suara itu melengking memenuhi seisi kamar.
“Kenapa?” lanjutnya ”
kenapa baru sekarang aku tahu semua. Dan kenapa harus aku. Kenapa
hidupku tidak pernah bahagia. Kenapa?”. Kini tangisnya meledak. Tifa
tersungkur di lantai kamarnya. Sang suami yang sedari tadi berdiri di
ambang pintu kamar mendekatinya,memeluknya dengan penuh kasih sayang.
“Istighfar sayang, Istighfar . Kamu seharusnya bersyukur kepada Allah akan semua ini. Dan jangan kamu menyesali nasib. Ini semua telah terjadi. Walaupun seluruh samudera penuh dengan air mata kamu,Dia tetap saja......”
“Diam mas, diam!” katanya melepas pelukan suaminya. Suasananya menjadi sendu. Hanya tangisan Tifa yang terdengar.
“Maafkan aku. Tak seharusnya aku kasar sama kamu, Mas. Tak seharusnya aku lakukan ini”. Tubuhnya bergetar karena derasnya tangisan. “ Sekarang aku ingin sendiri. Tolong keluar dari kamar ini. Tinggalkan aku sendiri aku butuh ketenangan” katanya lembut.
“Tapi.....”
“Keluar!” . Suara
tinggi kembali melengking memenuhi seisi kamar. Laki-Laki itu hanya
bisa diam dan pasrah. Dia harus memenuhi permintaan istrinya. Di
tutupnya pintu kamar dan bergegas menuju ke pemakaman.
Sementara itu di dalam kamar. Tifa masih belum bisa menerima kenyataan. Tubuhnya merigkuk di ujung ranjang. Matanya semakin lebam oleh air matanya yang semakin deras.
“Astagfirullahalazim. Apa salah hamba ya Allah ?” ucapnya dalam hati. Hening. Tak terdengar kebisingan. Hanya rintihannya yang mengangga.
Tok.... tok....... tok.........
Terdengar suara pintu di ketuk, tapi tidak ada respon dari tifa.
“Pergi!”. Suaranya tinggi, melengking memenuhi seisi kamar.
“Ini Ibu,Tifa. Ada hal penting yang ingin Ibu sampaikan. Ini amanah darinya”
Kembali hening.
Tidak ada jawaban. Sang Ibupun membuka pintu tanpa disuruh. Dilihatnya
sang anak yang duduk meringkuk di ujung ranjang. Rasa iba menjalar di seluruh tubuh sang ibu. Begitu pula bagi siapa saja yang melihat Tifa.
“Ibu tahu kalau kamu sedih. Kamu belum bisa menerima kenyataan tentang siapa dia sebenarnya.” kata sang Ibu mengelus rambut Tifa dengan tangan kanan dan mengeluarkan sebuah buku kecil dengan tangan kirinya.
“Dia berpesan kepada Ibu, ketika dia meninggal dan sebelum jasadnya dimakamkan, Ibu harus memberikan buku ini kepada kamu. Dia berharap,kamu bisa mengerti kenapa dia melakukan ini semua.”
Tifa
masih saja diam. Sang ibu memaklumi. Dia beranjak meninggalkan Tifa.
Dia menutup pintu kamar dan bergegas menuju pemakaman menyusul suami dan menantunya.
Tifa masih tak bergeming. Tatapan mataya terarah ke pohon randu yang daunnya mulai menguning dan berguguran. Tangisnya telah berhenti, tapi dia tetap belum bisa menerima apa yang terjadi.
“Dia berharap kamu bisa mengerti kenapa dia melakukan ini semua.” dia teringat perkataan Ibunya.
Diliriknya buku batik berwarna biru itu. Dibukanya lembar demi lembar.
Pada halaman paling depan terpampang jelas sebuah nama: Nur Halimah. Ya perempuan yang membuat Tifa merasa dibohongi. Tifa melanjutkan membuka lembar demi lembar buku itu. Tulisan tangan yang indah menghiasi punggungnya yang putih. Disana bertuliskan:
Aku rasa cukup sudah penderitaanku.
Aku bingung pada siapa aku harus menceritakan semuanya. Tidak ada orang
yang bisa ku percaya di dunia ini. Dan hanya kepadamulah aku bisa
menceritakan kisahku...
Semua bermula saat aku kelas 3 SMP. Ketika ibuku menikah lagi. Sejak awal aku tak setuju kalau ibu menikah dengan bajingan itu. Karena aku sudah tau sepak terjang laki-laki bakal ayahku
itu. Tapi ibu selalu mengatakan bahwa kami akan hidup berkecukupan,
karena laki-laki itu kaya. Aku selalu bilang bahwa tidak perlu hidup
kaya yang penting bahagia dan barokah. Tapi apa hendak dikata, ibu seperti tersihir oleh laki-laki yang bernama Mahmud itu, dan akhirnya menikah.
Di lembar Selanjutnya:
Sudah satu bulan ibu menikah dan kami tinggal dirumah ayahku, Mahmud.
Tiba-tiba saja terdengar bahwa nenek sakit. Nenek sudah tidak puya
siapa-siapa selain Ibu, jadi ibulah yang merawatnya siang dan malam..
Hujan turun deras malam itu. Ibu sudah berpesan bahwa dia tidak akan pulang. Rasa takut menyelinap begitu saja. Entah kenapa tiba-tiba aku merasa takut. Pintu kamarku diketuk. Hatiku tambah berdesir. Ternyata ayah, maksudku Pak Mahmud
berdiri diambang pintu. Tiba-tiba saja dia mendorongku. Aku tersungkur
diranjang. Kaget. Dia seperti orang kesetanan. Aku berteriak sekuat
tenaga tapi dia menamparku. Aku menangis dan berusaha berlari,tapi
tangannya lebih kuat. Dia mendorongku diatas ranjang. Dia membuka semua
pakaiannya dan menindihku. Aku diperkosa..
Tifa membuka halaman berikutnya:
Tidak
hanya sekali dia melakukan itu, tapi sudah 5 kali dan setelah puas dia
mengancam kalau aku ceritakan kepada ibu, dia akan membunuh Ibu. Aku
merasa tidak kuat, sehingga saat SMA aku memutuskan untuk tinggal diluar kota. Disana aku tinggal di rumah paman. Aku pikir aku akan hidup lebih baik disana. Ternyata dugaanku salah.
Yang dilakukan paman tak ubahnya seperti yang dilakukan Pak Mahmud. Dia memperkosaku.Ya Tuhan, apa salahku? Kenapa laki-laki memperlakukan aku rendah sekali?
Aku kabur dari rumah paman. Selanjutnya aku singgah di rumah Ratna, temanku. Disana,hidupku yang hina bertambah parah. Aku baru tahu bahwa Ratna
seorang pelajar yang sampingannya adalah kupu-kupu malam. Ratna
mengajariku bagaimana cara menghilangkan masala. Yaitu dengan mabuk.
Awalnya aku menolak, tapi lama kelamaan aku mau juga dan ketagihan.
Pergaulan bebaspun aku terjuni, bahkan aku mengikuti jejak langkahnya,
yaitu menjadi pelacur. Akhirnya aku hamil. Sebenarnya ada niat untuk
mengugurkannya,teman- teman satu profesipun juga mendukungku. Tapi entah mengapa aku merasa sayang pada janin di rahimku, walau tak tahu siapa ayahnya.
Tifa membuka halaman demi halaman.
Akupun menuruti kata Ratna untuk menitipkan anakku kepada tantenya yang mandul. Aku berharap anakku akan mendapat kehidupan yang layak disana. Tidak seperti ibunya, terjerumus dalam dunia hitam, menjadi pelacur dan selalu dikejar oleh dosa.
Rasanya berat untuk berpisah. Seluruh ibu didunia pun akan merasakan hal yang sama kalau berpisah dengan anaknya. Tapi apa hendak dikata ini semua demi kebaikan anakku.
Terakhir aku dengar namanya adalah Latifatun Nisa. Nama
yang indah. Aku berusaha bertanya pada ibu angkatnya apa arti nama itu.
Dia menjawab bahwa artinya adalah Wanita yang lembut. Hah,semoga saja
anakku bisa seperti namanya, menjadi wanita yang lembut dan benar-benar
menjadi perempuan idaman.
Aku tahu namanya saat Latifa berusia lima bulan. Dan itu adalah terakhir kali aku menemuinya. Buan aku tak sayang sebagai seorang ibu,tapi peristiwa buruk yang menimpaku selama ini membuatku trauma. Dan ketika melihatnya luka itu kembali mengangga.
Sudah 25 tahun aku berpisah dengan Latifa. Bisakah kau bayangkan betapa rindunya perasaanku? Sebongkah permatapun tak dapat menandingi mahalnya rinduku kepada Latifa.
25 tahun aku tak bertemu anak, 25 tahun menjadi pelacur. Buah dari pekerjaan ini telah merekah. Aku terkena
AIDS. Rasa rinduku itu,kini bercampur dengan rasa takut. Aku takut
mati. Aku takut akan dosaku. Dan yang paling aku takutkan adalah aku
tidak bisa lagi bertemu dengan anakku.
Aku mencintainya. Aku sangat mencintainya Aku sangat menyayanginya. Hanya dia yang aku miliki setelah semuanya mengkhianati.
Tuhan,kapan aku bisa bertemu dengan anakku? Aku ingin memeluknya,aku
ingin menciumnya. Aku ingin menebus dosaku. Izinkan aku,Tuhan. Izinkan
aku.
Tifa menutup buku batik biru itu. Air matanya kembali meleleh, pikirannya berkelana ke dua malam yang lalu. Tepatnya tanggal 19 April. Seorang perempuan bertandang ke rumahnya dan bercakap-cakap dengan kedua orang tuanya. Tatkala Tifa keluar membawa minuman dan cemilan, perempuan itu tiba- tiba menangis.
Tifa menjadi bingung. Ada apa dengan perempuan itu? Kenapa setelah dia
keluar, perempuan itu menangis? Tifa melirik ke arah ayahnya. Akhirnya
dia masuk ke dalam. Tifa masih diliputi rasa penasaran sampai keesokan
harinya. Dia bertanya kepada sang ibu, siapa sebenarnya perempuan yang
bertandang semalam. Sang ibu menjawab bahwa namanya Nur Halimah, tapi
orang- orang memanggilnya Ima. Dia adalah seorang pelacur.
Tiba- tiba handphone di saku baju ibunya bergetar. Ada sebuah
panggilan. Sang ibu mengangkatnya. Raut mukanya berubah seketika.
Ternyata, Nur Halimah, perempuan yang bertandang semalam kecelakaan.
Kedua perempuan itu tercekat. Dan entah kenapa ada perasann yang aneh
menjalar ke tubuh Tifa. Entah kenapa dia merasa khawatir yang amat
sangat kepada perempuan itu. Kenapa dia ingin sekali menjenguk perempuan
yang belum pernah ditemuinya itu. Akhirnya mereka berdua memutuskan
untuk menjenguk Nur Halimah di s rumah sakit.
Tifa tercengang melihat sesosok perempuan yang terbujur di ranjang
rumah sakit. Tifa merasa ada hubungan yang aneh dengan perempuan itu.
Tidak biasanya dia merasakan perasaan yang seperti ini, bahkan kepada
perempuan yang dianggapnya ibu selama ini.
“Tifa, cerita Ibu tadi belum selesai.” Kata sang ibu
“Maksud Ibu?” Tanya Tifa
“Tifa,
sudah saatnya kamu tahu yang sebenarnya.kamu sudah dewasa. Kamu sudah
menikah. Sudah saatnya kamu tahu kisah yang sebenarnya.”
“Apa maksud Ibu?”
“Tifa, Nur Halimah adalah ibu kandung kamu.”
Kabar
itu bagai petir yang menyambar. Tidak mungkin Tifa, seorang yang
terkenal alim memiliki ibu seorang pelacur. Tidak mungkin!
“Ibu jangan bercanda dong. Waktunya nggak tepat.”
“Ibu
tidak bercanda, Tifa. Nur Halimah adalah ibu kandung kamu. Dia
menitipkan kamu ke ibu, karena tidak ingin kamu mengikuti jejak
langkahnya.”
Air mata Tifa menetes. Dia merasa di bohongi. Dia berlari meninggalkan ruangan itu. Sang suami pun ditabraknya saat berpapasan.
*******
“Maafkan
aku Ibu.” Katanya lirih. Dia menusap air matanya. Di lihatnya jam
dinding. 10.55. Lima menit lagi jenazah Nur Halimah akan dimakamkan.
Tifa beranjak meninggalkan kamarnya. Dengan masih menggunakan baju tidur
dan tanpa alas kaki dia berlari menuju ke pemakaman sang ibu yang
sebenarnya. Air matanya kembali berderai. Kini dia bisa memahami kenapa
perempuan yang bernama Nur Halimah yang tenyata ibu kandungnya melakukan
ini semua.
Para pelayat mulai
berhamburan pulang saat Tifa tiba di pekaman. Langsung dia tersungkur di
makam sang ibu. Air matanya mengalir deras.
“Maafkan, Tifa, Bu. Tifa telah berdosa. Tifa telah…” kata- katnya tercekat di tenggorokan.
Angin
berhembus siang itu. Bunga- bunga kamboja berguguran. Sebuah kamboja
berwarna merah jatuh di pusara sang ibu. Dia meremas bunga itu dan
menciumnya. Air matanya berderai semakin deras.
“Maafkan aku.. maafkan aku..”
“Dan
Kami mewajibkan manusia ( berbuta ) kebaikan kepada kedua orang tua ibu
bapaknya. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan Aku ( Allah
) dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka
janganlah kamu megikuti keduanya”
( al-Ankabut : 8 )
Untuk Kartini sepanjang zaman…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar