Kisah
ini, hiks...kisah tragisku yang ternyata bodoh, bodoh karena aku
lamaaaa sekali sadar bahwa ternyata ketulusan mendalamku di balas
dengan dusta. Bahwa ternyata cintaku yang apa adanya dibalas dengan
cintanya yang ada apanya.
Mulanya,
aku tak percaya perkataan Mas Faiz, yang bilang kalau dia cuma dekat
denganku hanya karena prestasiku, padahal aku benar-benar tulus
dengan dirinya. Aku ingat nasihatnya, saat itu dia berkata, “Sandra,
mata yang seperti kau punya itu mencerminkan dirimu yang susah jatuh
cinta, yang pernah disakiti. Dulu, kamu pernah suka banget sama
cowok, tahunan bahkan. Tapi, setelah kalian menjalin hubungan kamu
baru sadar kalau ternyata dia nggak seperti yang kamu harapkan. Tapi,
jangan khawatir,kamu akan mendapatkan sosok imam yang kamu inginkan
suatu saat, jalanmu masih berkelok-kelok”.
Aku
tercengang, apa maksud berkelok-kelok? Berkelok kelok berarti masih
susah, masih jauh, atau....entahlah. padahal saat itu aku sedang
menjalin kedekatan dengan seseorang. Teman sekelasku yang sudah
hampir tiga tahun aku kenal. “ Terus Mas, berarti kedekatanku sama
Aska gimana?”, akupun spontan bertanya. Dan jawabannya, jawaban
yang seharusnya membuat air minum turun ke lambung melalui
kerongkongan, justru masuk lewat tenggorokan ke paru-paru. Aku
tersedak mendengar ini: ‘’Aska itu dekat denganmu karena
prestasimu, bukan karena kamu yang apa adanya”.
“Haaa???
Emang iya gitu Mas??? Terus gimana dong akunya???”, kataku dengan
mata yang terbelalak.
“Yaa,
kalau kamu berusaha, ya pertahankan aja,sambil kamu tetap tulus sama
dia, toh nggak ada salahnya kan?? Tapi, kalau emang kamu nggak mau
berusaha, ya tinggalin aja, kasihan kamunya nanti”.
Sejak
‘ramalan’ itu, aku menjadi sering galau. Aku tak bisa menerima
kelakuannya yang tidak apa adanya. Tapi aku juga tak mampu
mengabaikan perasaan nyaman saat bersamanya. Jika kau jadi aku, apa
yang akan kau lakukan?? Aku menjadi sering menangis, sering melamun,
dan sering uring-uringan. Aku ingin meninggalkannya, tapi
kesanggupanku untuk itu belum seratus persen. Aku istikharah
berkali-kali, bersujud juga berkali-kali, berdoa apa lagi. Tapi
rasanya, hatiku masih gamang. Duniaku kalut. Kalut gara-gara tingkah
‘pahlawan bertopeng gadungan’, si Aska.
###
Pagi
itu, aku putuskan untuk melangkah sebagai Sandra yang mau berusaha.
Kan bagaimanapun usaha itu perlu. Sangat perlu. Namun di kelas, aku
menjadi Sandra yang tak biasanya. Aku murung hari itu. Mataku serupa
dengan mata panda. Teman-teman heran memandangku, tapi aku hanya
tersenyum menjawab pertanyaan pertanda kekhawatiran mereka.
Di
tempat ini, tempat di mana ada aku dan dia, usaha macam apakah yang
harus aku perbuat?? Ketika ku layangkan pertanyaan itu pada diriku
sendiri, hanya tanda tanya yang terbang mengelilingi kepalaku, yang
semakin lama, semakin berlipat-lipat saja jumlahnya. Aku kembali
melamun. Laaaamaaaa. Tenggelam dalam kebingungan yang kronis. Ungguh
keadaanku yang miris.
“Sandra...”.
“Eh,
iya ada apa?”, Aska sudah berdiri di depanku dengan tumpukan kertas
buram dan pena birunya.
“Em..ini
ngerjainnya gimana yaa??”
“Mana
liat”, dia menyodorkan soal matematika tentang integral subtitusi,
aku mencoret-coret jawaban di kertas buramnya sambil memberikan
penjelasan soal.
Ketika
selesai “Oh...iya, faham, terimakasih ya.. besuk-besuk kalau aku
nggak ngerti aku di ajarin lagi ya...”, katanya dengan wajah tanpa
dosa.
“Iya,
bisa diatur kalau soal itu”, jawabku dengan senyum yang berusaha ku
manis-maniskan.
Hatiku
sebenarnya sakit, sakit banget. Tapi, demi perasaanku ke dia,
okelah...aku berusaha berada di dekatnya dan berada di kapanpun dia
butuh. Berbulan bulan aku melakukan hal itu, dan aku terlena
melakukannya. Aku selalu tenang berada di dekatnya, dan dia sering
membutuhkan bantuanku. Alhamdulillah, otakku agak encer jika di
bandingkan dengan teman-teman yang lain, dan alhamdulillah juga, aku
merasa hubungan kami layaknya hubungan ikan hiu dan ikan remora,
simbiosis mutualisme. Aku bertahan sebagai guru privatnya, bukan
sebagai sahabat baiknya. Dan aku merasa senang. Sungguh Sandra yang
tolol.
###
Beberapa
waktu kemudian, aku tidak lagi merasa menjadi guru privatnya. Kini
aku sudah bisa merasakan ketulusannya berhubungan denganku, yaitu
ingin menjadikanku sahabat spesialnya. Dia mengutarakan maksudnya
kepadaku, dan kusambut baik keinginannya itu. Aku begitu bahagia saat
itu. Hubungan kami terjalin indah, kami saling mengisi satu sama
lain. Aku menjadi sahabat curhatnya, dan sebaliknya. Di sekolah, kami
kerap kali menghabiskan waktu bersama, hingga banyak yang menyangka
kami ada apa-apa, tapi aslinya kami hanya menjalin persahabatan yang
saaaaangaaatt indah.
Sampai
detik ini, jika mengingat kejadian yang ingin kuurai ini, aku tak
sanggup membendung air mataku. Di saat yang indah itu, di saat
persahabatan kami serupa dengan persahabatan bintang dan langit
malam, tiba-tiba dia mengecewakanku, melempar rasa percayaku,
menenggelamkan ketulusan yang selama ini kupertahankan.
Aku
paling tidak suka berkawan dengan lelaki yang tidak konsisten pada
prinsip dan janjinya, karena itu mengartikan bahwa ia tak mungkin
menjadi imam yang baik kelak. Dan Aska melakukannya. Kala itu, aku,
Aska, Raka, Lani, Ifa, Raya, dan Malik belajar kelompok di sekolah
pada hari minggu. Setelah proses belajar kelompok, kami seperti biasa
memberi reward kepada diri kami masing-masing. Aku, Lani, Ifa, dan
Raya ramai-ramai ke pasar tradisional di dekat sekolah untuk membeli
jajanan : nasi jagung, lupis, pepakan, gorengan. Begitu kami sudah
mendapatkan semua jajanan yang akan kami jadikan reward untuk diri
kami, aku, Lani, Ifa, dan Raya kembali ke sekolah, sambil membawa
serta pesanan ‘bapak-bapak’ yang menjaga keamanan peralatan
sekolah kami yang kami tinggal di kantin.
Sesampainya
di sekolah, tepatnya di Kantin, aku tiba-tiba merasa sesak melihat
apa yang Raka dan Aska lakukan. Malik hanya tersenyum sambil memegang
korek api, tanpa rokok, sementara Aska dan Raka dengan asiknya
menghisap racun itu. Aku masih tidak habis fikir, komitmen mereka
pada diri mereka sendiri mereka langgar hanya dalam jangka waktu satu
bulan setelah pengucapannya?? bisa-bisanya mereka lakukan itu.
Terutama Aska, selain berjanji kepada dirinya sendiri, dia juga telah
berjanji kepadaku, dan karena itu, aku merasa sangat dikhianati. Aska
menoleh ke arah kami, dan menatapku sebelum kemudian menunduk dan
menatapku lagi ketika aku sudah berada di dekatnya.
“Aku
ngrokok-ngrokok dulu ya..biar nggak stress-stress banget belajarnya”,
katanya kepadaku tanpa rasa bersalah.
Saat
itulah, aku menyadari bahwa keberadaanku selama ini sebagai
sahabatnya sama sekali tak berarti. Aku menyadari bahwa bukan aku
yang ia butuhkan keberadaannya tetapi, kemampuan dan prestasiku. Aku
menyadari, kata sahabat hanya mengkamuflasekan maksudnya untuk
menjadikanku guru privatnya. Saat itulah, rasa nyamanku menguap dari
palung hatiku. Kepercayaanku hancur, remuk berkeping. Harapanku
meleleh, bukan sekadar karena putung rokok yang jahat itu, tapi lebih
karena dirinya yang tak bisa memegang komitmennya dengan baik.
Akupun
galau lagi, akupun berurai airmata lagi. Bodoh. Sungguh bodohnya
diriku ini.
###
Kembali
Mas Faiz menjadi tempat curhatku. Oh ya, belum aku jelaskan tentang
Mas Faiz. Dia kakak sepupuku yang mewarisi indra ke-enam Kakekku. Dia
menjadi konsultan yang baik selama ini, dan ia selalu menjaga privasi
dari setiap kisah yang aku ceritakan, sehingga Ayah dan Ibu nggak
pernah tau masalah itu.
“Apa
udah tenang sekarang Dik??”, smsnya pagi ini setelah kemarin aku
coba curhat tentang masalahku kepadanya.
“Alhamdulillah
Mas, sudah. Sekarang, pasrah mode on saja deh...”,jawabku.
“Jangan
pasrah Dik, berusahalah dengan cara santai, pasrah berarti menyerah,
dan menyerah itu bukan dirimu”.
“Hhhhh...entah
Mas, dia juga kayaknya udah suka sama orang lain kok Mas, ya
sudahlah, biar Allah saja yang menentukan, lagi pula usaha santai
saya nggak digubris kok Mas...”.
“Hehe,
iya Dik, dari waktu itu kan aku udah pernah bilang sama kamu, tapi
kamu baru sekarang bener-bener sadarnya”.
“Ngomong
yang mana ya Mas?”
“Prestasi
itu lhoo”.
“Oh,
iya...hehe dan saya tetap tak mendapatkan ketulusannya”.
“Sabar
aja Dik, dan diambil hikmahnya, kamu kan cantik, coba deh tengok
kanan kiri kamu, banyak lho yang diem-diem suka sama kamu”, tutur
Mas Faiz menenangkan.
Ahaha,
Mas Faiz bisa saja. Terimakasih Mas, memang jalan saya masih
berkelok-kelok, jadi emang harus sabar. Dan untukmu wahai Aska Arjuna
Diningrat, terimakasih atas semuanya. Kamu ‘murid pertamaku’,
yang walau mengecewakan, tapi sangat menegarkan. Memang Allah
mempunyai banyak cara untuk meningkatkan taraf ketegaran
hamba-hambaNya. Terimakasih Yaa Rabb, dan taubatkanlah Aska.
“Selamat
menjadi lebih sabar, Sandra Al-Khasa”,kataku kepada diriku sendiri,
“semoga istiqomah dengan kesabarannya”, lanjutku.
###
Fauziyah
Suci Nurani
XII.IA.1
MAN
Salatiga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar