Setiap orang ibu
pasti menginginkan yang terbaik untuk anaknya,sama seperti Ibu
Sumirah, seorang ibu paruh baya dari dua orang putri dan seorang
putra. Dua putrinya, Mbak Jatun dan Mbak Mumun menikah di usia muda,
dan masing-masing telah mempunyai seorang anak. Salah satu cucunya,
Novi, anak dari Mbak Jatun sangat dekat dengan Ibu Sumirah,
maklumlah, Mbak Jatun kan seorang TKW di Arab Saudi, jadi putrinya
yang baru berusia 5 tahun itu diasuh oleh neneknya.
Aku
sendiri, teman dari putra satu-satunya yang sangat ia harapkan
keberhasilannya, yaitu Ahmad. Aku dan Ahmad sudah berteman sejak kami
masih belajar di Raudlatul Athfal (Taman Kanak-kanak Islam), dan
sampai sekarangpun kami masih berteman. Kami belajar di satu Madrasah
Diniyah (TPA), Madrasah Ibtidaiyah, dan Madrasah Tsanawiyah. Ibu
Sumirah juga mengenalku. Rumah kami berdekatan, dan setiap ke warung
dan bertemu denganku, beliau akan menyapaku, “Belanja Nduk..”.
Suaminya,
Bapak Khamdi adalah seorang tukang servis payung keliling. Setiap
hari, ia berjalan dari Pabelan, menuju Salatiga yang kira-kira
jaraknya 15 km, beliau berjalan sambil menggendong peralatan servis,
seperti gagang payung, senar, dan kawat-kawat serta besi panjang yang
aku tidak tahu apa namanya. Letih kulihat jelas di wajah keriputnya
saat setiap sore di melintasi jalan di depan rumahku, masih dengan
jalan kaki dan menggendong peralatan servis.
Ibu
Sumirah hanyalah seorang ibu rumah tangga yang tak berpenghasilan
tetap. Hanya saat musim tanam dan musim panen saja beliau menjadi
buruh dan mendapatkan penghasilan RP. 25.000 perharinya. Sementara,
cita-cita beliau adalah ingin menjadikan sosok Ahmad, anak lelaki
satu-satunya menjadi orang yang pintar dan berketrampilan, sehingga
kehidupan Ahmad dapat lebih baik dari kehidupannya. Betapa
beruntungnya Ahmad memiliki orangtua yang tak kenal lelah berjuang
untuknya walaupun keterbatasan dan kemiskinan menghalangi.
Lain
dengan kedua kakaknya yang hanya di sekolahkan sampai tamat SLTP,
Ahmad diharuskan melanjutkan keSMK oleh kedua orang tuanya. Dan
benar, setelah lulus Madrasah Tsanawiyah, ia melanjutkan ke SMK
Muhammadiyah Salatiga. Aku yang bersekolah di MAN Salatiga kerap kali
bertemu dengannya di angkot, walau lebih sering seperti orang yang
tidak mengenal. Setiap bertemu, kami hanya melemparkan senyum simpul
yang seperti tidak ikhlas satu sama lain, lalu diam seribu bahasa
seperti orang asing, bukan seperti teman lama dan teman seperjuangan
dulunya.
Setiap
pagi, setelah turun dari angkot nomor 3, yaitu angkot jalur
Macanan-Kauman Kidul-Salatiga, aku sering melihatnya nongkrong di
samping Ramayana Salatiga bersama banyak lelaki berseragam sama
sepertinya sambil memegang rokok di tangan mereka dan dengan rambut
yang berwarna-warni. Sungguh miris aku melihat kelakuannya. Aku
segera teringat Ibu Sumirah dan Bapak Khamdi yang begitu gigih
membanting tulang dan memeras keringat demi kelangsungan pendidikan
Ahmad yang di harapkan akan menjadi orang yang sukses, tapi dia
justru terkesan terjerumus kedunia remaja yang nakal dan brutal.
Na’udzubillah Yaa Allaah...
Tiga
bulan pertama masa SMAku, aku masih kerap kali melihatnya di angkot.
Namun, mulai bulan ke empat, aku sudah tidak lagi melihatnya, saat
itu aku berfikir, “Mungkin sekarang, dia nebeng sama temennya”..
***
Waktu
terus berjalan, aku tak terlalu menghiraukan Ahmad. Dia sudah dewasa,
dan pastinya dia bisa melakukan yang terbaik untuk dirinya sendiri,
dan untuk orangtuanya tentunya. Namun, terdengar desas-desus bahwa
dia sudah putus sekolah. Ha ??? Sayang sekali kalau desas-desus itu
benar. Kasihan sekali ayah dan ibunya yang berharap besar padanya.
Kebetulan, di suatu siang saat aku melintasi lapangan di desa
Bridgestoneku tercinta ini, aku berpapasan dengan dia. Akupun tak
menyia-nyiakan kesempatan untuk interview dengannya langsung.
“Ahmad,
emang bener ya, kamu udah nggak sekolah lagi?”.
“Iya,
bener, aku udah keluar”.
“Lho,
kenapa?”.
“Uang
sekolah terlalu mahal Cik.. bapakku udah nggak sanggup bayar”,
jawabnya singkat, kemudian pergi.
Benarkah
sesederhana itu? Bukankah setiap sekolah akan memberikan beasiswa
bagi anak yang orangtuanya kurang mampu? Ah, entahlah. Sedih rasanya
melihat teman seperjuanganku putus sekolah gara-gara biaya.
Indonesia...oh Indonesia..
Sejujurnya,
aku masih penasaran dengan penyebab putus sekolah Ahmad. Aku tidak
yakin alasannya biaya. Hm.. karena aku masih penasaran, akupun
bertanya kepada adikku yang notabene ialah teman mainnya Ahmad.
“Adek...
emang Ahmad putus sekolah kenapa sih?”.
“Dia
kan nakal to Mbak, lha wong uang SOPnya malah dibuat main PS di Pasar
Raya”.
“Lho,
wah wah...ampun deh tuh anak !!! apa nggak kasihan sama orangtuanya,
eh, tapi kemarin kok dia bilangnya karena nggak kuat bayar sekolah
ya?”
“Lah,
kamu tu gimana to Mbak..mana ada maling yang mau ngaku. Dia bilang
gitu biar nggak ketahuan nakalnya mungkin,, padahal gurunya juga
sampai datang ke rumahnya buat bujuk Ahmad biar mau skolah lagi lho..
tapi emang dasar si Ahmadnya aja yang udah nggak bisa di bilangin”.
Ya
Allah,, tega banget sih Ahmad, kan kasihan Pak Khamdi dan Ibu
Sumirah. Sekarang, Ahmad malah menambah daftar pengngguran Republik
Indonesia. Huuh...miris melihatnya.
Sore
itu, kebetulan aku kebarengan sama Pak Khamdi di angkot, mungkin dia
lelah berjalan, jadi naik angkot.
“Pulang
Mbak.., sapanya.
“Enggih
Pak, baru pulang juga?”, tanyaku sembari basa-basi.
Setiap
melihat wajah letihnya, aku jadi jengkel sendiri mengingat balasan
Ahmad atas susah payah kedua orangtuanya. Sayang, aku hanya bisa
mendoakan semoga suatu saat kelak, mereka akan berada pada kehidupan
yang lebih baik dari pada ini. Amiiin..
Kamipun
sampai pada pemberhentian agkot dimana kami harus turun. Rumah kami
jauh dari pembermentian angkot ini, masih harus melewati jalan naik
turun selama kurang lebih 30 menit. Aku dan Pak Khamdi berjalan
bersama, kebetulan hari itu adikku yang biasanya menjemputku sedang
mengikuti kegiatan pramuka di sekolahnya, jadi daripada menunggu
sampai jam 4 sore, aku lebih memilih berjalan saja. Waktu itu, langit
sedang mendung. Kami berjalan agak cepat. Baru tiga menit berjalan,
Mas Irsyad, tetangga kami lewat dengan motor yang jok belakangnya
masih kosong. Ia berhenti, dan mengajak salah satu dari kami naik
motornya. Aku terlebih dahulu mempersilahkan Pak Khamdi untuk ikut
bersama Mas Irsyad, tapi dia justru bilang, “Kamu saja Mbak Cik,
yang ikut, inikan mau hujan, nanti seragammu basah, kalau aku kan
cuma pakai kaos oblong, basahpun tidak masalah”, dan argumen itu di
dukung oleh Mas Irsyad. Akhirnya, dengan tidak enak hati, akupun ikut
Mas Irsyad. Sampai setengah perjalanan, hujanpun turun, pikiranku
langsung melayang kepada Pak Khamdi, “Kasihan Pak Khamdi, pasti
kaos oblongnya benar-benar basah”, air matakupun menitik, bercampur
bersama air hujan yang turun kala itu.
***
Minggu
sore di TPA An-Najah.
“Maaf
Mbak, ini Novinya telat”.
“Enggih
Bu.. ndak apa-apa, ayo Dik Novi masuk, duduk sama Dik Najwa, di tulis
ya, huruf hijaiyahnya”, kataku yang pada sore itu sedang belajar
bersama adik-adik kecil yang sangat manis.
Subhanallaah.. Ibu
Sumirah beitu sabar mengurus Novi, pantas saja Novi sangat menyayangi
neneknya ini. Dan aku kembali jengkel pada sosok Ahmad. Argh..teman
ngajiku yang satu itu.. hiiiiihh !!! bisa-bisanya ia mengecewakan ibu
sesabar Ibu Sumirah.
***
Tak kusangka, Minggu
sore itu menjadi saat terakhir aku melihat sosok sabar Ibu Sumirah.
Beliau ternyata mengidap sakit paru-paru, dan setelah dirawat selama
empat hari di Sanatorium Bawen, iapun menghadap kepada ilahi Rabbi.
Aku sontak bercucuran airmata mendengar berita kepulangannya. Ia
harus pergi tanpa di dampingi kedua putrinya yang masih menjadi TKW
di Arab Saudi. Iapun harus meninggal dengan kekecewaan mendalam
terhadap putranya, yang diharapkan keberhasilannya, namun justru
manjadi anak nakal dan pengangguran. Juga meninggalkan suami yang
sangat gigih dan baik hati sendirian untuk selama-lamanya, serta
Novi, gadis kecil yang ditinggal ibunya bekerja, kini harus ditinggal
pula olehnya. Innalillahi wa inna ilaihi raji’un :’(
Besar harapanku,
jika setelah kepergian ibunya, Ahmad akan menjadi anak yang lebih
berbakti kepada ayahnya, lebih perhatian terhadap ayahnya, dan lebih
peduli terhadap kesehatan ayahnya. Tapi, yang kulihat justru seratus
delapan puluh derajat terbalik dari harapanku. Ahmad justru tidak mau
tinggal di rumahnya. Ia lebih memilih untuk tinggal di rumah
tetanggaku yang dikenal sebagai tempat ngumpul anak-anak nakal.
Setiap pagi saat aku berangkat sekolah, aku melihat ia duduk di depan
rumah sambil mengepulkan asap rokok. Setiap pulangpun juga. Ia tetap
terlihat duduk di depan rumah masih dengan mengepulkan asap rokok.
Astaghfirullah, sementara di jalanraya Pabelan-Salatiga, ayahnya
yang semakin tua dan kurus sepeninggal ibunya masih tetap berjalan
sambil berharap ada orang yang membutuhkan jasanya sebagai tukang
servis payung.
Seperti itulah,
sedikit potret kehidupan yang sangat miris, yang menyayat hatiku,
yang melelehkan air mataku. Kasihan sekali nasib Pak Khamdi, ia hanya
di kelilingi kesempatan untuk menggapai kehidupan yang lebih baik,
tanpa mampu mengambil kesempatan tersebut. Sementara aku, hanya bisa
memandang mata sayunya yang mengguratkan kesabaran, serta belajar
dari kegigihannya bertahan dalam sulit yang mendera. Secercah bahagia
yang sedikit menghapuskan sepi yang pasti timbul dalam hidup Pak
Khamdi ialah kepulangan Mbak Mumun yang kini sedang membangun rumah
tepat di samping rumah Pak Khamdi, jadi selain bisa mengurusi
suaminya, Mbak Mumun juga bisa membaktikan dirinya untuk merawat
ayahnya yang semakin menua.
Semoga Ahmad segera
diberi kesadaran, dan semoga Pak Khamdi akan senantiasa gigih dalam
hidupnya. Allah Maha Adil terhadap hamba-hambaNya, Ia selalu
menyertakan bahagia di sisi duka, iapun tak mungkin memberikan ujian
melebihi kemampuan hambaNYA, Maha Suci Engkau Wahai Allah.. tunjukkan
bahagia itu dalam kehidupan kami, kehidupan Bapak Khamdi, serta anak
dan cucunya..aamiin
Fauziyah Suci
Nurani
XII.IA.1
MAN Salatiga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar