Aku mencoba
mendeskripsikan perasaanku kini. Apakah ada bahagia? Ataukah sedih
yang mendera? Aku juga mencari arti dari air mata ini, apakah
pertanda suka, ataukah lara sedang menyiksa? Entahlah, yang jelas
batu kekecewaan menggumpal memberatkan hatiku, dan aku merasa sesak
karenanya. Beberapa bulan yang lalu, aku begitu menunggu hari ini,
hari di mana ujian telah terlaksana, dan akhirnya ada sedikit waktu
untuk bernafas lebih panjang sebelum berjibaku kembali menghadapi
SNMPTN.
Beberapa bulan
lalu, ku beranikan diriku untuk bertanya kepada Aska, “Apa
sebenarnya kau masih membutuhkan aku?”
Jawabnya saat
itu, “ Tentu saja, kenapa kau bertanya seperti itu?”
‘‘Ada yang
menawariku madu cinta, haruskah aku meneguknya?”
“Semua
terserah pada hatimu, percayalah, aku sebenarnya telah mencari waktu
yang tepat sebelum aku mengajakmu menjalin keseriusan, tapi jika kau
ingin menyambut yang lain, aku tidak bisa menghalangimu”..
“Jika hatiku
berkata tidak?”
“Terserah,
semua terserah dirimu, jika kau mampu bersabar, aku akan sangat
berterimakasih, selepas ujian, aku janji akan menyatakan semuanya,
aku sekarang masih nyaman dengan kesendirian”.
Ya, saat itu,
aku sangat mengerti keadaannya. Ia ingin konsentrasi ke ujiannya.
Dan akupun juga harus konsentrasi pada ujianku. Aku putuskan bersabar
dan menjaga hati, sembari tetap belajar keras untuk mengenyahkan
bayangannya. Jujur, rasanya memang agak sesak, tapi aku tak menemukan
cara lain untuk mengatasi perkara hatiku waktu itu.
Setiap waktu
kuhitung hari menuju ujian, agar selepas itu aku mampu mendapatkan
kejelasan darinya. Waktu-waktuku kubuat untuk belajar
sungguh-sungguh, karena dia akan marah jika nilaiku tak maksimal. Dia
memang salah seorang sumber motivasiku, dan aku merasa senang dengan
keberadaannya, mungkin itu yang membuatku tak pernah mau enyah dari
sisinya.
Sore itu, satu
hari sebelum ujian terlaksana, di pesan facebookku ada sebuah pesan
yang mendebarkan. Pesan dari Risha, seseorang dari masa lalu Aska.
Awalnya aku ragu untuk membacanya, namun ku yakinkan diriku untuk
mengetahuinya.
“Meski aku
tak begitu mengenalmu, ku kirim pesan ini sebagai pengganti tangan
yang tak mampu berjabat, maafkan telah berburuk sangka padamu,
apalagi untuk suatu hal yang tak perlu aku curigai, aku Risha, mohon
maaf atas segala kesalahanku padamu”, pesan ini menyadarkanku,
betapa kebaikan Risha yang selama ini ku dengar dari banyak orang
benar.
Waktupun terus
berjalan, aku semakin akrab dengan Risha, dan semakin banyak pula
yang ku ketahui setelah keberadaan Risha di hidupku, terutama tentang
masalah hatinya terhadap Aska. Selama ini, Aska selalu berkoar-koar
dihadapanku dan di hadapan semua teman-teman bahwa ia lajang, jomblo,
tak punya pacar, dan kami semua percaya. Bahkan dalam kurun waktu
setengah tahun ini, ia sempat menjalin hubungan dengan Farah, namun
penuturan Risha berbeda. Ketika kami bertemu secara langsung, dan
kami bicara dari hati ke hati, aku akhirnya tahu satu fakta, bahwa
Aska telah membohongiku, membohongi kami semua.
“Sandra,
sebenarnya, Aska bilang apa tentang hubunganku dan dia ketika di
hadapanmu?”, tanyanya kala itu.
Akupun menjawab
jujur,” Aska bilang, dia sudah putus denganmu Sha..”.
Matanya
tiba-tiba saja berair. “Sebenarnya, tak pernah ada kata itu dalam
hubungan yang kami jalin selama ini. Tapi, kalau dia bilang begitu,
berarti dia menganggap semuanya memang telah berakhir”, bulu
kudukku merinding, dan aku juga tak kuasa membendung air mata. Aku
tak menyangka Aska ternyata pembohong besar. Dan janjinya padaku,apa
itu?? Janji palsu. Sampai kini, saat aku bertemu dengan Risha dikala
ujian telah berakhir seminggu lalu, tetap tak ada kejelasan.
Tiba-tiba aku
merasa tak pantas lagi menunggunya, ada Risha yang lebih dalam
perasannya kepada Aska, dan lebih baik aku cukupkan saja semuanya.
Tiada guna aku menyimpan rasa, toh nantinya akan tetap terluka. Aku
katakan itu pada diriku sendiri, dan aku bulatkan tekadku ntuk
melakukannya.
Semakin hari,
aku semakin dekat dengan Risha, dan juga dengan Aska. Setiap hari,
SMS mereka berdua silih berganti menyapaku. Okelah, mungkin mereka
memang jodoh, mungkin memang aku yang harus mengalah.
***
Aku masih
diliputi rasa kecewa, tapi Aska tak pernah tau itu. Aku tetap
berusaha menjadi kawan baiknya, sambil mencari celah untuk menemukan
kejelasan dari janjinya, juga hubungannya dengan Risha. Setiap SMS,
dengan nada bercanda kuselipkan pertanyaan tentang kepastian, tentang
kejelasan, tentang pacar, atau tentang masa lalu. Tapi, dasar
mulutnya yang klimis, ia selalu saja mengelak dan mengalihkan
pembicaraan. Huhh.. memang wajib sabar. Aku sudah berjanji membantu
Risha, tanpa menyinggung perasaan Aska.
Hubungan mereka
sebenarnya hanya lost contact, namun dalam lost contact tersebut,
Aska ternyata asik mencari mangsa, sementara Risha tetap menjaga
hatinya. Walau aku merasa sangat perih jika membayangkan mereka
berdua yang kemungkinan hubungannya akan menjadi baik kembali, namun
aku mencoba ikhlaskan saja. Sebenarnya, Risha tak pernah melarangku
untuk menaruh rasa pada Aska, ia justru merangkulku, merangkul orang
yang mencintai kekasihnya. Haha, dia memang sebaik peri, tidak
seperti banyak wanita yang menatapku tajam, kemudian menggunjing
kedekatanku dengan Aska. Dia memang berbeda, tak pernah menyalahkanku
atas kedekatan kami, ia juga tak ragu menyatakan kekecewaanya
kepadaku atas sikap Aska yang menyatakan cintanya padaku saat mereka
masih menjalin hubungan. Dia terbuka, kami saling terbuka, dan hal
tersebut yang membuat kami merasa dekat, dan membuatku merasa harus
membantunya mempertegas kejelasan hubungan mereka.
Jika dihayati
lagi, pertemuan kami memang seperti sinetron saja. Aku dan Risha
bertemu di warung Mie Ayam 2 tahun lalu, ketika itu, dia dan Aska
sedang makan berdua, sementara aku sedang makan juga bersama Karin,
teman baikku yang kini berpacaran dengan mantanku yang dulu membuatku
menolak Aska, yaitu Amri. Risha juga ternyata bersahabat baik dengan
Nitra, yang notabene adalah mantan Amri sebelum Amri berhubungan
denganku. Nitra juga orang yang dulu pernah ku temui, di salah satu
lomba saat kami masih SMP. Sungguh ajaib, di penghujung waktu SMA
ku, aku seperti ditakdirkan untuk napaktilas kisah cinta putih
abu-abuku. Ketika aku dan Risha merangkai kisah awal kami bertemu
hingga akhirnya kami menjadi seperti sekarang ini, kami selalu
tertawa sendiri, dan takjub akan takdir yang melingkupi hidup kami.
Kami kenal, memang karena ada Aska, namun kami bersahabat, karena
hati kami merasa perlu untuk bersahabat. Persahabatan kami memang
sangat sebentar, namun rasa mengasihi di antara kami sudah seperti
sahabat lama saja. Dengan Risha, ku untai persahabatan yang
berkualitas, yang tidak di tentukan oleh kuantitas.
***
Beberapa saat
aku menunggu, SMS dari Aska akhirnya datang juga. Aku sudah
menyiapkan candaan bermodus kejelasan, bermodus kepastian hubungannya
dengan Risha, namun masih gagal lagi. Ketika ku kirim pernyataan,
“Tetep nggak boleh ketemu aku, nanti kalau pacarnya lihat, bisa
marah lho”, ia hanya membalas, “iya...iya...”
Harus bagaimana
aku mengartikan kata ‘iya...iya...’? hah, entahlah. Serba
abu-abu semuanya. Akhirnya, untuk yang ke sejuta kali aku katakan
pada diriku sendiri, “Sandra Al-Khasa, sabar ya..semua akan indah
pada waktunya”.
Maafkan aku ya,
Risha, belum mampu menemukan kejelasan terhadap kedudukan kita di
hati Aska. Mungkin memang kita ditakdirkan untuk lebih lama terlibat
dalam perkara hati ini. Selamat menjadi lebih sabar dan lebih tegar
saja ya, semoga Allah memberinya hidayah untuk menegaskan
keputusannya.
***
Fauziyah
Suci Nurani
XII.IA.1
MAN
Salatiga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar