doc.pribadi |
Pengalaman ini
adalah pengalaman yang sangat menyakitkan tapi karena pengalaman ini aku juga
bisa menjadi sosok yang kuat. Aku adalah seorang wanita biasa yang dilahirkan
di keluarga yang sangat biasa mungkin bisa dibilang kurang biasa, karena
materi, tapi itu tak membuat masalah bagiku.
5 tahun yang
lalu pada saat aku duduk di bangku kelas 1 SMP. Waktu itu keluarga kami
mendapat masalah yang sangat menyakitkan. Ayahku dipenjara karena dia
tertangkap kasus perjudian. Rasanya tak tega melihat ibuku menangisi ayahku.
Ibuku terlihat terpukul dan sedih mungkin tidak hanya ibuku yang terpukul
mendengar berita itu tetapi aku, kakak-kakakku, serta adikku juga menangis
batin mendengar hal itu.
Kami mulai
menjalani hari-hari biasa, kalau sebenarnya jauh dari sebelumnya, saat ayahku
dibalik jeruji besi hidup kami sangat-sangat kekurangan. Makanpun kita hanya
tergantung pada gaji kerja kakakku dan bantuan dari saudara-saudara kami. Aku,
adikku dan kakakku ketiga waktu itu masih sekolah semua. Kita sekolah tidak
pernah ada uang saku hanya sarapan pagi, dan semangat untuk belajar yang bisa
mengantar kita belajar di sekolah.
* *
*
Di sekolah aku
ingin belajar dengan baik dan menjadi murid yang pintar, tapi harapanku itu
tidak bisa berjalan, karena rasa yang tidak betah di kelas. Aku dimusuhi
teman-temanku. Entah apa alasannya teman-teman memusuhi ku. Waktu itu ada satu
pertanyaan dari seorang teman satu kelas yang sangat memalukan dan sangat
menyakiti hatiku.
Dia bertanya dan
menjelek-jelekkan keluargaku di depan satu kelas. Namanya Solikatun. Dia
bertanya “Ayah kamu di penjara ya rek…?” Akupun diam, sok dan hanya tersenyum
padanya. Lalu dia bertanya lagi “Semua orang juga udah tau” (dengan sinisnya),
tanpa pikir panjang aku langsung keluar kelas.
Sejak saat itu
temanku bertanya seperti itu aku jadi tak betah rasanya. Akupun menjadi tidak
semangat belajar, setiap ada tujuan, aku hanya masuk di kelas saat ada gurunya
atau saat ada tugas.
Rasa benci,
takut, sedih berkumpul jadi satu dan aku tak berani menceritakan kepada
siapa-siapa. Sejak pertanyaan yang menyakitkan itu aku menjadi anak yang suka
menyendiri, anak yang suka tidak mengerjakan PR dan menyepelekan semua
pelajaran. Di otakku yang aku pikirkan adalah yang penting aku sudah berangkat
sekolah, mungkin guru-guru benci melihat tingkahku. Apalagi guru matematika
tatapannya sangat kelihatan kalau benci melihatku.
* *
*
Tapi aku masih
punya satu sahabat yang setia ada untukku dan selalu bersama saat berangkat,
pulang dan teman bermain, yang membuat aku bertahan dan dia selalu menyemangati
aku sayangnya keluargaku melarang aku untuk tidak bermain dengannya. Tapi aku
tak peduli dengan larangan itu, setiap hari aku kena marah karena masih bermain
dengan dia itupun tak jadi masalah bagiku.
Walau aku tidak
satu kelas dengannya tapi setiap ada luang waktu aku selalu menghampirinya,
namanya Tata dia sahabat dekatku sejak aku masih duduk di bangku SD. Setiap
hari Sabtu pulang sekolah aku selalu kerumah dia, pulang kerumahpun hanya
sekedar ganti baju dan makan siang. Entah kenapa aku sangat betah berada
bersamanya, dan aku sangat akrap dengan semua anggota keluarganya.
Aku merasakan
keharmonisan dari keluarga dia, beda dengan keluargaku, rasanya lebih sibuk
mengurusi urusan sendiri-sendiri yang menyebabkan aku tak betah di rumah. Aku
selalu bertengkar dengan kakakku yang ketiga. Kakak perempuanku satu-satunya.
Dia egois tak mau memikirkan aku, dia selalu harus menjadi yang pertama.
Melihat
kelakuannya aku sangat benci, tiap hari dia hanya bermain-bermain, pacaran,
wataknya jauh beda dengan aku dia sangat suka dandan, dimanapun dan kapanpun.
Penampilan harus nomor satu, maka tak heran pacarnya banyak, tidak seperti aku
yang kucel, norak dan tidak pernah mau tau tentang fashion atau cosmetic. Tak
heran juga jika semua orang tidak percaya kalau kita bersaudara.
* *
*
Hari demi hari,
waktu demi waktupun terus berjalan. Bulan puasa pun tiba. Dengan makanan apa
adanya kami saur dan berbuka. 1 bulan penuh kami hanya makan sup atau gudeg
tanpa lauk. Karena niat kami bisa berpuasa 1 bulan penuh. Walau sebenarnya kami
sangat bosan dengan menu yang tidak pernah ganti itu.
Bulan puasapun
segera berakhir karena sebentar lagi Hari Raya Idul Fitri. Suara takbir pun
terdengar dari semua masjid. Kami merasakan ada yang sangat berbeda di malam
takbir ini tidak ada ayahku, tidak ada ketupat, tidak ada opor ayam, tidak ada
baju baru. Bahkan untuk beli garam yang hanya berharga 500 rupiah saja kami
tidak ada uang.
Wakut itu hampir
jam 9 malam ada yang mengetok pintu rumahku. Ternyata dia sahabat ayahku yang
datang kerumahku untuk memberi uang untuk hari lebaran. Kita semua sangat
senang dan uang itu akan digunakan untuk menjenguk ayahku. Rasanya malam ingin
aku percepat agar bisa bertemu dengan ayahku. Rasa kangen yang sangat mendalam
aku rasakan.
* *
*
Lebaranpun tiba.
Aku dan keluargaku bergegas untuk pergi ke masjid untuk melakukan sholat ied.
Setelah sholat kami langsung pergi ke makam embah kami seperti tradisi-tradisi
lebaran sebelumnya. Setelah dari makam kami sekeluarga pergi ke kantor polisi
untuk menjenguk ayah.
Jarak antara
rumah kami dan penjara sangat jauh,
sehingga kami harus naik kendaraan. Kami dipinjami sepasang motor dari tetangga
untuk menjenguk hingga kembali. Setelah sampai di sana kami menunggu beberapa
menit karena ketentuan jam besuk NAPI, dengan sabar kami menunggu akhirnya
dibolehkan masuk.
Di sana aku
bertemu ayahku, aku salaman minta maaf, dipeluk dan dicium, air matakupun
menetes karena senang bercampur sedih, kami merayakan lebaran bersama hanya di
tempat besuk NAPI, tragis, tapi aku bersyukur masih bisa bertemu ayah.
* *
*
Setelah pulang
dari besuk ayah aku langsung pulang kerumah. Pintu rumah kami ditutup waktu
lebaran karena ibuku malu tidak punya makanan apa untuk disuguhkan sangat jauh
berbeda dengan tetangga-tetangga kami yang rumahnya banyak sekali makanan.
Beberapa hari
iami hanya di rumah dan tidak berani keluar rumah, karena malu. Pintu rumahpun
selalu tertutup sampai lebaran usai. Mungkin hanya orang tertentu yang masuk
rumah, itupun masuknya lewat pintu belakang tidak pintu depan.
100 hari pun
terlewati. Hari yang sangat ditunggu-tunggu, ayahku dibebaskan dari penjara.
Ayahku pulang dengan senyuman dan tangisan, tetangga-tetangga, keluarga besar
datang untuk menjenguk ayahku di rumah, dan yang membuat paling senang ayahku
tak akan berjudi lagi.
* *
*
Ada hikmah yang
bisa aku petik. Ternyata keluargaku adalah keluarga yang kuat, walau terkena
masalah kita tak pernah merengek-rengek minta bantuan, walau kami kekurangan
kami bisa bertahan karena bersama.
Walau sebenarnya
di rumah menangis tetapi di luar kita selalu tersenyum. Seberat-beratpun
masalah pasti ada jalan keluar dan hanya senyuman palsu yang tampak.
By. Rety--
Saat ada masalah memang harus senyum, jadi bukan senyum palsu, dengan tersenyum maka hati akan santai dan otak akan jernih, kalau sudah seperti itu, kita akan lebih mudah menemukan pemecahan permasalahannya
BalasHapusCerita yang bagus dan menyentuh Ret, aslinya ada bakat menulis nih..Semangaatt!!...(^.^)/..
Bagus dek Ret :)
BalasHapusjika menulis dengan hati maka akan sampai juga ke hati
ditunggu tulisan selanjutnya yang "senyum indah"